Sammaria : Fim Indie Lampung Berikan Warna Baru di Perfilman Indonesia

BANDAR LAMPUNG—Menggeliatnya film indie Lampung dalam Festival Film Indie (FFI) Darmajaya se-Sumatra dan Jawa mengundang rasa kagum tersendiri bagi dewan juri nasional. Salah satunya, Sammaria Simanjuntak (sutradara film Cin(t)a dan Demi Ucok). Sutradara nasional ini mengutarakan, setelah dewan juri selesai melakukan penjurian terhadap seluruh peserta FFI Darmajaya pada Kamis 1 Mei, ternyata sebagian besar film indie FFI Darmajaya berpotensi untuk dapat dikembangkan lebih jauh.

“Saya melihat banyak potensi film-film bagus di FFI Darmajaya termasuk film indie Lampung, kalau diseriusin lebih jauh, dapat memberi warna baru di perfilman Indonesia,” ujar Sammaria dalam Coaching Clinic yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Darmajaya Computer and Film Club (UKM DCFC) pada Kamis, 2 Mei 2013.

Dalam coaching clinic tersebut, Sammaria turut berbagi pengalaman selama dirinya berkecimpung di dunia perfilman kepada seluruh peserta. Menurutnya, sebuah film yang baik dimulai dari ide cerita yang dekat dengan masyarakat. “Film yang baik adalah film yang jujur dari segi cerita dan teknis, dengan menggambarkan realita yang sebenarnya, tidak selalu harus muluk-muluk,”ungkap alumni ITB.

Selain itu, wanita kelahiran Bandung, 4 Mei 1983 ini juga menyampaikan tips dan trik bagi moviemaker film pendek yang karyanya ingin lebih dikenal publik, yakni selain aktif mengikuti festival, film pendek tersebut juga dapat dibuat menjadi iklan produk. “Bila moviemaker ingin filmnya lebih komersil, banyak cara kreatif yang bisa dilakukan untuk “menjual” film pendek, seperti men-threat film pendek sebagai iklan produk tertentu,” paparnya.

Selain menghadirkan Sammaria Simanjuntak, UKM DCFC juga menghadirkan sutradara nasional Satria Adiyasa (sutradara film Long Imagine) sebagai dewan juri dan pembicara dalam Coaching Clinic yang diadakan di Aula Pascasarjana Gedung B lantai 3 IBI Darmajaya pukul 13.00 – 16.00 WIB.

Adiyasa menilai kuantitas dan kualitas film indie semakin meningkat secara nasional. Sebabnya, seiring perkembangan zaman dan majunya teknologi serta eksisnya media sosial sehingga semakin banyak orang yang mencintai perfilman hingga menghasilkan karya film. Selain itu, kini perfilman pun menjadi ekstrakurikuler di sekolah-sekolah. “Begitu pula di FFI Darmajaya, dari tahun ke tahun kuantitas dan kualitasnya semakin membaik, semangat indie pun sangat terasa di setiap film peserta. Saya turut bangga dan senang dapat terlibat di  FFI Darmajaya tahun ini,” ujar sineas lulusan Institut Kesenian Jakarta.

Adiyasa menambahkan dengan adanya FFI Darmajaya, dapat menggali potensi daerah di Indonesia. “Seperti pada salah satu film peserta FFI Darmajaya dari Bangka Belitung yang mengangkat realita kehidupan masyarakat disana. Sehingga, publik tidak hanya mengenal Bangka Belitung dengan film Laskar Pelangi-nya saja, namun juga ada potensi lokal yang dapat digali lebih jauh dan sama bagusnya. Harapannya, FFI Darmajaya mendatang dapat menjadi even nasional bahkan internasional,” ujar pria yang akrab disapa Yasa ini.

Menanggapi moviemaker indie yang ingin karyanya dikelola secara komersial, Yasa berpendapat ada kalanya dalam membuat sebuah karya tidak harus menjadi komersil. “Ada sesuatu yang tidak ternilai tapi bisa terpuaskan secara hasrat. Sehingga yang perlu digarisbawahi bagi moviemaker indie adalah adanya semangat indie yang terus menerus dan kadangkala tidak perlu berusaha ikut mainstream melainkan memiliki sudut pandang sendiri sehingga tidak perlu bersusah payah memiliki nilai komersil,” paparnya.

Meski demikian, Yasa memberikan sebuah tips untuk mengatasi keterbatasan dana dalam pembuatan film yaitu dapat dimulai dari ide cerita yang sederhana dan dekat dengan kehidupan sehari-hari serta tentunya semangat indie. “Semangat indie yaitu semangat bergotong royong, para pemain film bisa dari teman-teman sendiri dan meminjam peralatan shooting ke teman atau saudara,” pungkasnya. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *